Senin, 06 Juni 2016

Al - Qur'an Menganjurkan Untuk Berfilsafat

ANJURAN AL-QUR’AN UNTUK BERFILSAF
 
Disusun oleh : Muhammad Iqbal Khoirul Khumaini
  Muh.iqbalkhoirulkhumaini17@gmail.com

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Alqur’an adalah risalah terakhir yang diturunkan kepada Nabi terakhir pula sebagai penyempurna terhadap risalah-risalah yang lain yang turun sebelumnya kepada para rasul sebelumnya, kata penyempurnamenunjukkan bahwa keberadaan Al-Qur’an sebagai pelengkap dari semua dimensi yang belum tercakup didalam kitab-kitab sebelumnya. Hal ini menjadi kebanggaan terhadap umat Muhammad yang mampu membaca dan menikmati Al-Qur’an sehingga tidaklah mungkin secara keotentikan dan kelengkapan Al-Qur’an pada kali ini diabaikan demi sumber Ajaran yang lainnya. Membahas dan membahasakan Al-Qur’an tidaklah mudah semudah memetik gitar, ataupun semudah melahap roti yang ada digenggaman tangan, tetapi perlu metodologi pemahaman mengenai kandungan yang terdapat didalamnya. Al Qur’an memberikan metodologi secara garis besar terhadap pencapaian makna dan kandungan Al-Qur’an,
Al-Qur’an Mengajak berpikir, seruan Al-Qur’an untuk mengajak berpikir memiliki bentuk yang bervariasi seperti, (nazdar) memandang secara seksama, ( tafakkur) berpikir, (tadabbur) merenungkan, (I’tibar) mengambil pelajaran, ( tadzakkur) menyadari, (tafaqquh) mendalami pemahaman. Variasi ini semakin mengukuhkan bahwa menolak akal sama dengan menentang logika Al-Qur’an. Normalitas yang ada dalam Al-Qur’an dengan ajakan yang bervariasi diatas mengindikasikan bahwa titik temu Al-Qur’an dengan filsafat yaitu pada proses penggapaian rasinal terhadap kebenaran, persamaan titik dalam Al-Qur’an dan filsafat semakin mengkuatkan prinsip refleksifitas obyektif tuntunan berfilsafat dalam Al-Qur’an.
A.    Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Anjuran Al–Qur’an Untuk Berfilsafat?
B.     Tujuan Masalah
1.      Mengetahui Anjuran Al–Qur’an Untuk Berfilsafat?

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Ajaran Al-Qur’an Untuk Berfilsafat
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa al-Qur’an bukan hanya sekedar kitab bacaan dan azimat, melainkan al-Qur’an merukan kitab yang harus dipelajari, difahami maksudnya, dipikirkan artinya, dan renungi maksudnya. Selain ditinjau dari munculnya wahyu, dalam al-Qur’an sendiri terdapat ayat-ayat yang memerintahkan untuk berfikir dan mendalami segala seuatu yang ada sehingga bisa mengantarkan diri pemikir untuk menuju kepada Tuhan alam semesta serta ayat al-Qur’an memberikan teguran bagi orang yang tidak mau berfikir terdapat al-Qur’an maupun sesuatu yang ada di sekelilingnya. Lebih dari itu, Ibn Rushd menjelaskan bahwa wajib untuk memahami syarit dengan menggunakan pendekatan filsafat sebagaimana wajibnya menggunakan dasar mantik untuk mengetahui Allah dan keberadaan-Nya[1].
Penjelasan di bawah ini merupakan sebagian dari ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk berfikir dan mengikuti pola pikir filosof.
a. Perintah untuk berfikir, merenungi, dan mendalami
1) Surat al-Hashr ayat 2
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
Artinya : “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.”[2]
Ibn Rushd menjelaskan bahwa maksud dari ayat di atas tiada lain keculai untuk mengambil hikmah dari sesuatu yang majhul dari sesuatu yang maklum. Demikian ini merupakan qiyas versi filosof. Oleh karena itu wajib bagi pemikir untuk merenugi sesuatu yang ada di alam semesta ini dengan menggunakan qiyas.
2) Surat Yunus ayat 101
قُلِ انْظُرُوا مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ وَمَا تُغْنِي الْآيَاتُ وَالنُّذُرُ عَنْ قَوْمٍ لَا يُؤْمِنُونَ
Artinya : “Katakanlah: "Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman".[3]
Pada ayat ini menggunakan kata amr (perintah) untuk merenungi segala yang ada baik di bagian atas maupun bawah. Oleh karena itu, hikmah yang bisa diambil dari ayat ini ialah perintah Tuhan pada manusia untuk berfikir terhadap segala sesuatu yang ada di sekelilingnya. Dengan berfikir terhadap hal tersebut, maka akan menemukan kebenaran adanya Tuhan Pencipta yang Maha Esa.
Ibn Kathir menjelaskan dalam kitab tafsirnya, Allah menganjurkan hamba-Nya untuk berfikir terhadap segala yang ada dari ciptaan-Nya baik itu berupa penciptaan langit, bumi, planet-planet, matahari dan bulan, siang dan malam, dan lainnya. Dengan memikirkan hal itu, maka ia akan mengakui tiada tuhan selain Allah.
3) Surat Ali ‘Imran ayat 190
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”[4]
Ayat di atas merupakan hikmah dibalik perenungan terhadap penciptaan langit, bumi, sinag, dan malam. Hikmah merenungi dan berfikir secara mendalam terhadap semua ciptaan Allah sebagaimana yang tertulis akan menjadi pengantara bagi orang-orang yang memiliki akal sehat dalam penemukan ketuhanan Allah.
Dari tiga ayat yang telah disebutkan di atas sengat jelas menunjukkan sebuah perintah untuk berfikir secara mendalam dalam permasalahan atau alam yang mengitarinya. Bukan hanya sekedar melihat tanpa difikirkan, sebab al-Qur’an memerintahkan untuk berfikir secara kritas. Dengan berfikir secara kritas terhadap alam dan diri manusia sendiri akan menjadi pengantar dalam penemuan siapa pencipta semua yang ada.
Tidak bisa dipungkiri bahwa penelitian dan pemikir yang muncul dari diri sendiri akan lebih menyakinkan daripada hanya mengikuti perkataan yang ada atau hanya taklid pada para petua.
b. Hinaan bagi orang yang tidak berfikir
Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwa dasar utama filsafat adalah logika. Logika sengat berperang penting dalam menyelesaikan permasalahan atau persoalan yang hendak diselesaikan. Berpegang pada logika sebagaimana yang telah dijadikan dasar dalam berfilsaf ini tidak disalahkan oleh teks suci terutama dalam permasalahan alam atau kemanusiaan, sebab ayat-ayat al-Qur’an dalam permasalahan ini masih bersifat global saja dan masih tetap mebutuhkan perincian dari logika para pembaca teks.[5] Di bawah ini merupakan sebagian dari keterang akan hinaan terhadap orang-orang yang tidak mau menggunakan akalnya dalam berfikir.
1)   Surat al-Rum ayat 8
أَوَلَمْ يَتَفَكَّرُوا فِي أَنْفُسِهِمْ ۗ مَا خَلَقَ اللَّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَجَلٍ مُسَمًّى ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ بِلِقَاءِ رَبِّهِمْ لَكَافِرُونَ
Artinya : “Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya.”[6]
Ayat di atas turun untuk menjadi teguran bagi orang-orang yang tidak mau penggunakan logikanya untuk berfikir khususnya untuk orang-orang yang tidak berfikir dalam masalah ketuhanan dan datangnya hari akhir. Meski ayat ini bertujuan untuk menegur orang yang tidak yakin terhadap datangnya hari akhir, namun ayat ini secara umum bisa dijadikan sebuah dasar untuk selalu berfikir dan memanfaatkan logikan menemukan sebuah kebenaran dengan cara berfikir radikal.
2)   Surat al-Dhariyat 21
وَفِي أَنْفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونَ
Artinya : “Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”[7]
Hinaan terhadap orang-orang yang tidak berfikir terhadap sesuatu yang ada pada dirinya padahal diri sendiri merupakan perantara terdekat untuk difahami. Untuk memahami terhadap kekuasaan Allah yang ada pada diri manusia pastinya tidak akan bisa jika hanya difahami tanpa menggunakan logika yang mendalam dan setelah melalui proses penelitian.
3)   Surat al-A’raf ayat 185
أَوَلَمْ يَنْظُرُوا فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ وَأَنْ عَسَىٰ أَنْ يَكُونَ قَدِ اقْتَرَبَ أَجَلُهُمْ ۖ فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُونَ
Artinya : “Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu?”[8]
Dari ayat di atas jelas menunjukkan teguran bagi orang-orang yang tidak berfikir. Hamzah yang tertera dalam ayat memiliki arti sebuah pertanyaan yang bersifat untuk menghina orang-orang yang tidak mau berfikir atas segala yang ada baik itu berupa kerajaan di bumi maupun di langit. Al-Zamakhshari menjelaskan mengenai ayat di asat bahwa Allah memerintahkan manusia untuk berfikir dan mengambil sebuah kesimpulan dari apa yang ada di bumi dan laingit agar supanya bisa mengantarakan manusia itu sendiri dalam merenungkan keagungan Tuhan yang menciptakannya.
Dari semua ayat atas hinaan terhadap orang yang berfikir ini mengindikasikan bahwa sesungguhnya Allah benar-benar berharap dan mengharapkan semua manusia untuk berfikir agar supaya bisa menemukan hakikat kehidupan yang lebih baik dan bisa menemukan Tuhan yang harus disembah. Pola fikir semua itu tidak akan bisa menyampaikan pada sesuatu yang diharapkan apabila hanya dengan menggunakan kerangka berfikir biasa. Jalan yang bisa mengantarkan berfikir yang bisa sampai pada tujuannya dengan menggunakan kaidah dan batasan ialah dengan menggunakan pola pikir ala filosof.
Sebagaimana yang telah diketahui saat membaca dan mengkaji buku-buku teologi, terdapat dua dasar yang tidak akan pernah terlepaskan dalam menemukan sebuah kebenaran dari argumen yang telah ditetapkan. Penetapan atas dasar wahyu dan penetapan atas dasar logika. Penetapan atas dasar logika yang digunakan oleh para Mutakalimin tidak lain adalah krangka berfikir yang telah diusung oleh para filosof. Oleh karena itu, tidak berlebihan dan tidak salah bila al-Qur’an memerintahkan semua manusia untuk berfikir ala filosof.
c. Konsep Berfikir ala Filsafat dalam al-Qur’an
Ketika dikaji lebih mendalam dalam permasalah konesp berfikir ala filsafat dalam al-Qur’an, ternyata tidak ada berbedaan sedikitpun dengan konsep berfikir ala filosof klasik maupun kontemporer.[25] Hal ini bisa dibuktikan dari beberapa ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk selalu berfikir dengan cara radikal, universal, dan rasional. Di bawah ini merupakan sebagian dari ayat-ayat al-Qur’an yang menganjurkan untuk berfikir ala filosof dalam pandangan al-Qur’an:
1)   Al-Qur’an memerintahkan untuk berfikir radikal dan logis
Al-Qur’an memberikan teguran pada orang yang hanya mengikuti pendapat orang lain atau mengikuti pendapat yang telah menjadi tradisi nenek moyang tanpa adanya berfikir ulang akan benar dan tidaknya pendapat tersebut. Hal ini disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 170:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
Artinya : “Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".[9]
Memikirkan sesuatu hingga mendapatkan sebuah kebenaran tidaklah cukup bila hanya berfikir dengan pemikiran yang dangkal. Untuk menemukan sebuah keberan serta menggapai sebuah keyakinan dibutuhkan adanya pemikiran yang radikal. Berfikir dengan radikal merupakan sebuah perintah dari Allah pada semua manusia, sebab berfikir dengan radikal ini bisa mengantarkan seseorang untuk menemukan sebuah keyakinan yang disertai oleh tendensi yang valid.
Yusuf Musa menjelaskan, penjelasan dalam al-Qur’an tidak luput dari peringatan pada orang-orang yang hanya taklid terhadap perkataan yang ia dengarkan dari peninggalan nenek moyang (les traditions). Taklid ini sangat membahayakan serta bisa merusak pada pemikiran dan pemberian hukum atas peroblematika yang ada. Oleh karena itu, al-Qur’an sangat mencegah adanya taklid pada nenek moyang dari pemikiran dan pendapatnya, sehingga bisa mencegah logikanya untuk berfikir terhadap sebuah kebenaran dan pelacakan yang mendalam untuk mendapatkan sesuatu yang benar.[10]
2)   Ayat al-Qur’an memerintahkan untuk berfikir secara universal
Tidak ada satupun penjelasan yang luput dari al-Qur’an meski hanya melalui penjelasan yang global. Pembahasan mengenai alam, manusia, sejarah, dan ketuhanan menjedi pembahasan yang sering disinggung dalam al-Qur’an. Perintah berfikir mengenai semua itu menjadi anjuran utama al-Qur’an agar bisa menemukan siapa pencipta alam jagat raya. Anjuran berfikir dalam al-Qur’an bukan hanya sekedar berfir dengan pola pikir yang dangkal, melainkan manusia dipeintahkan untuk berfikir secara universal.
        Yusuf Musa menjelaskan bahwa berfikir secara universal merupakan sesuatu yang dianjurkan dalam al-Qur’an dengan menggunakan dasar ayat-ayat kauniyah yang secara global disinggung dalam al-Qur’an. Penjelasan secara global ini merupakan sebuah perintah dari Allah untuk merenungi dan memikirkannya. Yusuf Musa mencantumkan beberapa ayat yang harus difikirkan secara universal salah satunya ialah surat al-Baqarah ayat 164:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”
Pembahasan dari ayat di atas ialah proses penciptaan langit dan bumi serta segala sesuatu yang terjadi pada keduanya. Untuk menemukan sebuah kebenaran dari ayat di atas butuh adanya pemikiran yang universal serta dibuktikan dengan adanya teklonogi modern untuk memperkuat kebenarannya. Berfikir mengenai hal ini bukanlah sesuatu yang mudah, melainkan hanya dilakukan oleh orang-orang yang sadar bahwa segala sesuatu tidak muncul dengan tiba-tiba. Oleh karena itu pada akhir ayat ditutup dengan ungkapan teguran atas orang yang tidak sadar bahwa dirinya telah diberikan akal untuk berfikir.







BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Al-Qur’an bukan sekedar kitab suci yang diturankan Allah pada Muhammad untuk dibaca, melainkan al-Quran merupakan kitab suci yang harus difahami isi dan kandungannya agar supanya bisa menjadi media pendekatan diri pada Sang Pencipta. Berfikir mengenai alam, manusia, dan Tuhan merupakan pembahasan yang selalu dibahas dalam ilmu filsafat, tiga pembahasan ini juga merupakan anjuran untuk dibahas dan difahami oleh kitab suci al-Qur’an. Untuk memahami segala yang ada dalam al-Qur’an membutuhkan pola pikir darikal, universal, dan rasional. Tiga pola mikir ini menjadi ciri khas dari berfikir ala filolofos. Dari sini bisa disimpulkan bahwa al-Qur’an menganjurkan untuk berfikir ala filolos.
Ayat-ayat al-Qur’an selalu menganjurkan semua orang untuk berfilsafat dan melarang mengikuti pendapat nenek moyang tanpa adanya pemikiran ulang akan benar dan tidaknya. Oleh karena itu, al-Qur’an mengibaratkan orang yang tidak menggunakan fasilitas dari Allah seperti mata, hati, telinga, dan lain-lain dengan hewan atau bahkan lebih buruk daripada hewan.







DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Yusuf Musa, Bain al-Din wa al-Falsafah fi  Ra’y Ibn Rushd wa Falasifah al-‘Ashr al-Wasit, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 2003).
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV Diponegoro, 2008).



[1] Muhammad Yusuf Musa, Bain al-Din wa al-Falsafah fi  Ra’y Ibn Rushd wa Falasifah al-‘Ashr al-Wasit, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 2003), Hal 91.
[2] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV Diponegoro, 2008), Hal 545
[3] Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahnya, (Bandung: CV Diponegoro, 2008), Hal 220
[4] Ibid, 75
[5] Yusuf Musa, al-Qur’an wa al-Falsafah, Hal 54
[6] Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahnya, Hal 405
[7] Ibid, 521
[8] Ibid, 174
[9]  Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Hal 26.
[10] Yusuf Musa, al-Qur’an wa al-Falsafah, Hal 60.

1 komentar: