ANJURAN
AL-QUR’AN UNTUK BERFILSAF
Disusun oleh : Muhammad Iqbal Khoirul Khumaini
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Alqur’an
adalah risalah terakhir yang diturunkan kepada Nabi terakhir pula sebagai
penyempurna terhadap risalah-risalah yang lain yang turun sebelumnya kepada
para rasul sebelumnya, kata penyempurnamenunjukkan bahwa keberadaan
Al-Qur’an sebagai pelengkap dari semua dimensi yang belum tercakup didalam
kitab-kitab sebelumnya. Hal ini menjadi kebanggaan terhadap umat Muhammad yang
mampu membaca dan menikmati Al-Qur’an sehingga tidaklah mungkin secara
keotentikan dan kelengkapan Al-Qur’an pada kali ini diabaikan demi sumber
Ajaran yang lainnya. Membahas dan membahasakan Al-Qur’an tidaklah mudah semudah
memetik gitar, ataupun semudah melahap roti yang ada digenggaman tangan, tetapi
perlu metodologi pemahaman mengenai kandungan yang terdapat didalamnya. Al
Qur’an memberikan metodologi secara garis besar terhadap pencapaian makna dan
kandungan Al-Qur’an,
Al-Qur’an Mengajak
berpikir, seruan Al-Qur’an untuk mengajak berpikir memiliki
bentuk yang bervariasi seperti, (nazdar) memandang secara seksama, ( tafakkur) berpikir,
(tadabbur) merenungkan, (I’tibar) mengambil pelajaran, ( tadzakkur) menyadari,
(tafaqquh) mendalami pemahaman. Variasi ini semakin mengukuhkan
bahwa menolak akal sama dengan menentang logika Al-Qur’an. Normalitas yang ada
dalam Al-Qur’an dengan ajakan yang bervariasi diatas mengindikasikan bahwa
titik temu Al-Qur’an dengan filsafat yaitu pada proses penggapaian rasinal
terhadap kebenaran, persamaan titik dalam Al-Qur’an dan filsafat semakin
mengkuatkan prinsip refleksifitas obyektif tuntunan berfilsafat dalam
Al-Qur’an.
A.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Anjuran Al–Qur’an Untuk
Berfilsafat?
B.
Tujuan Masalah
1.
Mengetahui Anjuran Al–Qur’an Untuk
Berfilsafat?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ajaran Al-Qur’an Untuk Berfilsafat
Sebagaimana
yang telah dijelaskan di atas bahwa al-Qur’an bukan hanya sekedar kitab bacaan
dan azimat, melainkan al-Qur’an merukan kitab yang harus dipelajari, difahami
maksudnya, dipikirkan artinya, dan renungi maksudnya. Selain ditinjau dari
munculnya wahyu, dalam al-Qur’an sendiri terdapat ayat-ayat yang memerintahkan
untuk berfikir dan mendalami segala seuatu yang ada sehingga bisa mengantarkan
diri pemikir untuk menuju kepada Tuhan alam semesta serta ayat al-Qur’an
memberikan teguran bagi orang yang tidak mau berfikir terdapat al-Qur’an maupun
sesuatu yang ada di sekelilingnya. Lebih dari itu, Ibn Rushd menjelaskan bahwa wajib
untuk memahami syarit dengan menggunakan pendekatan filsafat sebagaimana
wajibnya menggunakan dasar mantik untuk mengetahui Allah dan keberadaan-Nya[1].
Penjelasan di
bawah ini merupakan sebagian dari ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk berfikir
dan mengikuti pola pikir filosof.
a. Perintah
untuk berfikir, merenungi, dan mendalami
1) Surat
al-Hashr ayat 2
فَاعْتَبِرُوا
يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
Artinya : “Maka
ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai
wawasan.”[2]
Ibn Rushd menjelaskan bahwa maksud dari ayat
di atas tiada lain keculai untuk mengambil hikmah dari sesuatu yang majhul dari
sesuatu yang maklum. Demikian ini merupakan qiyas versi filosof. Oleh karena
itu wajib bagi pemikir untuk merenugi sesuatu yang ada di alam semesta ini
dengan menggunakan qiyas.
2) Surat Yunus ayat 101
قُلِ انْظُرُوا
مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ وَمَا تُغْنِي الْآيَاتُ وَالنُّذُرُ عَنْ
قَوْمٍ لَا يُؤْمِنُونَ
Artinya : “Katakanlah: "Perhatikanlah apa
yaag ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan
rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman".[3]
Pada ayat ini menggunakan kata amr (perintah)
untuk merenungi segala yang ada baik di bagian atas maupun bawah. Oleh karena
itu, hikmah yang bisa diambil dari ayat ini ialah perintah Tuhan pada manusia
untuk berfikir terhadap segala sesuatu yang ada di sekelilingnya. Dengan
berfikir terhadap hal tersebut, maka akan menemukan kebenaran adanya Tuhan
Pencipta yang Maha Esa.
Ibn Kathir menjelaskan dalam kitab tafsirnya,
Allah menganjurkan hamba-Nya untuk berfikir terhadap segala yang ada dari
ciptaan-Nya baik itu berupa penciptaan langit, bumi, planet-planet, matahari
dan bulan, siang dan malam, dan lainnya. Dengan memikirkan hal itu, maka ia
akan mengakui tiada tuhan selain Allah.
3) Surat Ali
‘Imran ayat 190
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
Artinya : “Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”[4]
Ayat di atas merupakan hikmah dibalik
perenungan terhadap penciptaan langit, bumi, sinag, dan malam. Hikmah merenungi
dan berfikir secara mendalam terhadap semua ciptaan Allah sebagaimana yang
tertulis akan menjadi pengantara bagi orang-orang yang memiliki akal sehat
dalam penemukan ketuhanan Allah.
Dari tiga ayat yang telah disebutkan di atas
sengat jelas menunjukkan sebuah perintah untuk berfikir secara mendalam dalam
permasalahan atau alam yang mengitarinya. Bukan hanya sekedar melihat tanpa
difikirkan, sebab al-Qur’an memerintahkan untuk berfikir secara kritas. Dengan berfikir
secara kritas terhadap alam dan diri manusia sendiri akan menjadi pengantar
dalam penemuan siapa pencipta semua yang ada.
Tidak bisa dipungkiri bahwa penelitian dan
pemikir yang muncul dari diri sendiri akan lebih menyakinkan daripada hanya
mengikuti perkataan yang ada atau hanya taklid pada para petua.
b. Hinaan bagi
orang yang tidak berfikir
Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwa
dasar utama filsafat adalah logika. Logika sengat berperang penting dalam
menyelesaikan permasalahan atau persoalan yang hendak diselesaikan. Berpegang
pada logika sebagaimana yang telah dijadikan dasar dalam berfilsaf ini tidak
disalahkan oleh teks suci terutama dalam permasalahan alam atau kemanusiaan,
sebab ayat-ayat al-Qur’an dalam permasalahan ini masih bersifat global saja dan
masih tetap mebutuhkan perincian dari logika para pembaca teks.[5]
Di bawah ini merupakan sebagian dari keterang akan hinaan terhadap orang-orang
yang tidak mau menggunakan akalnya dalam berfikir.
1)
Surat al-Rum ayat 8
أَوَلَمْ يَتَفَكَّرُوا فِي أَنْفُسِهِمْ ۗ مَا
خَلَقَ اللَّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ
وَأَجَلٍ مُسَمًّى ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ بِلِقَاءِ رَبِّهِمْ
لَكَافِرُونَ
Artinya : “Dan
mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak
menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan
(tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di
antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya.”[6]
Ayat di atas turun untuk menjadi teguran bagi
orang-orang yang tidak mau penggunakan logikanya untuk berfikir khususnya untuk
orang-orang yang tidak berfikir dalam masalah ketuhanan dan datangnya hari
akhir. Meski ayat ini bertujuan untuk menegur orang yang tidak yakin terhadap
datangnya hari akhir, namun ayat ini secara umum bisa dijadikan sebuah dasar
untuk selalu berfikir dan memanfaatkan logikan menemukan sebuah kebenaran
dengan cara berfikir radikal.
2)
Surat al-Dhariyat 21
وَفِي
أَنْفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونَ
Artinya : “Dan
(juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”[7]
Hinaan terhadap orang-orang yang tidak
berfikir terhadap sesuatu yang ada pada dirinya padahal diri sendiri merupakan
perantara terdekat untuk difahami. Untuk memahami terhadap kekuasaan Allah yang
ada pada diri manusia pastinya tidak akan bisa jika hanya difahami tanpa
menggunakan logika yang mendalam dan setelah melalui proses penelitian.
3)
Surat al-A’raf ayat 185
أَوَلَمْ يَنْظُرُوا فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ وَمَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ وَأَنْ عَسَىٰ أَنْ يَكُونَ قَدِ
اقْتَرَبَ أَجَلُهُمْ ۖ فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُونَ
Artinya : “Dan
apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu
yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka
kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu?”[8]
Dari ayat di atas jelas menunjukkan teguran
bagi orang-orang yang tidak berfikir. Hamzah yang tertera dalam ayat memiliki
arti sebuah pertanyaan yang bersifat untuk menghina orang-orang yang tidak mau
berfikir atas segala yang ada baik itu berupa kerajaan di bumi maupun di
langit. Al-Zamakhshari menjelaskan mengenai ayat di asat bahwa Allah
memerintahkan manusia untuk berfikir dan mengambil sebuah kesimpulan dari apa
yang ada di bumi dan laingit agar supanya bisa mengantarakan manusia itu
sendiri dalam merenungkan keagungan Tuhan yang menciptakannya.
Dari semua ayat atas hinaan terhadap orang
yang berfikir ini mengindikasikan bahwa sesungguhnya Allah benar-benar berharap
dan mengharapkan semua manusia untuk berfikir agar supaya bisa menemukan
hakikat kehidupan yang lebih baik dan bisa menemukan Tuhan yang harus disembah.
Pola fikir semua itu tidak akan bisa menyampaikan pada sesuatu yang diharapkan
apabila hanya dengan menggunakan kerangka berfikir biasa. Jalan yang bisa
mengantarkan berfikir yang bisa sampai pada tujuannya dengan menggunakan kaidah
dan batasan ialah dengan menggunakan pola pikir ala filosof.
Sebagaimana yang telah diketahui saat membaca
dan mengkaji buku-buku teologi, terdapat dua dasar yang tidak akan pernah
terlepaskan dalam menemukan sebuah kebenaran dari argumen yang telah
ditetapkan. Penetapan atas dasar wahyu dan penetapan atas dasar logika.
Penetapan atas dasar logika yang digunakan oleh para Mutakalimin tidak lain
adalah krangka berfikir yang telah diusung oleh para filosof. Oleh karena itu,
tidak berlebihan dan tidak salah bila al-Qur’an memerintahkan semua manusia
untuk berfikir ala filosof.
c. Konsep
Berfikir ala Filsafat dalam al-Qur’an
Ketika dikaji lebih mendalam dalam permasalah
konesp berfikir ala filsafat dalam al-Qur’an, ternyata tidak ada berbedaan
sedikitpun dengan konsep berfikir ala filosof klasik maupun kontemporer.[25]
Hal ini bisa dibuktikan dari beberapa ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk
selalu berfikir dengan cara radikal, universal, dan rasional. Di bawah ini
merupakan sebagian dari ayat-ayat al-Qur’an yang menganjurkan untuk berfikir ala
filosof dalam pandangan al-Qur’an:
1)
Al-Qur’an memerintahkan untuk
berfikir radikal dan logis
Al-Qur’an memberikan teguran pada orang yang
hanya mengikuti pendapat orang lain atau mengikuti pendapat yang telah menjadi
tradisi nenek moyang tanpa adanya berfikir ulang akan benar dan tidaknya
pendapat tersebut. Hal ini disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat
170:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ
اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ
كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
Artinya : “Dan
apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan
Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa
yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah
mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui
suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".[9]
Memikirkan sesuatu hingga mendapatkan sebuah
kebenaran tidaklah cukup bila hanya berfikir dengan pemikiran yang dangkal.
Untuk menemukan sebuah keberan serta menggapai sebuah keyakinan dibutuhkan adanya
pemikiran yang radikal. Berfikir dengan radikal merupakan sebuah perintah dari
Allah pada semua manusia, sebab berfikir dengan radikal ini bisa mengantarkan
seseorang untuk menemukan sebuah keyakinan yang disertai oleh tendensi yang
valid.
Yusuf Musa menjelaskan, penjelasan dalam
al-Qur’an tidak luput dari peringatan pada orang-orang yang hanya taklid
terhadap perkataan yang ia dengarkan dari peninggalan nenek moyang (les
traditions). Taklid ini sangat membahayakan serta bisa merusak pada pemikiran
dan pemberian hukum atas peroblematika yang ada. Oleh karena itu, al-Qur’an
sangat mencegah adanya taklid pada nenek moyang dari pemikiran dan pendapatnya,
sehingga bisa mencegah logikanya untuk berfikir terhadap sebuah kebenaran dan
pelacakan yang mendalam untuk mendapatkan sesuatu yang benar.[10]
2)
Ayat al-Qur’an memerintahkan untuk
berfikir secara universal
Tidak ada satupun penjelasan yang luput dari
al-Qur’an meski hanya melalui penjelasan yang global. Pembahasan mengenai alam,
manusia, sejarah, dan ketuhanan menjedi pembahasan yang sering disinggung dalam
al-Qur’an. Perintah berfikir mengenai semua itu menjadi anjuran utama al-Qur’an
agar bisa menemukan siapa pencipta alam jagat raya. Anjuran berfikir dalam
al-Qur’an bukan hanya sekedar berfir dengan pola pikir yang dangkal, melainkan
manusia dipeintahkan untuk berfikir secara universal.
Yusuf
Musa menjelaskan bahwa berfikir secara universal merupakan sesuatu yang
dianjurkan dalam al-Qur’an dengan menggunakan dasar ayat-ayat kauniyah yang
secara global disinggung dalam al-Qur’an. Penjelasan secara global ini
merupakan sebuah perintah dari Allah untuk merenungi dan memikirkannya. Yusuf
Musa mencantumkan beberapa ayat yang harus difikirkan secara universal salah
satunya ialah surat al-Baqarah ayat 164:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ
بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ
فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ
وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
Artinya : “Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera
yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah
turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah
mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan
pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh
(terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang
memikirkan.”
Pembahasan dari ayat di atas ialah proses
penciptaan langit dan bumi serta segala sesuatu yang terjadi pada keduanya.
Untuk menemukan sebuah kebenaran dari ayat di atas butuh adanya pemikiran yang
universal serta dibuktikan dengan adanya teklonogi modern untuk memperkuat
kebenarannya. Berfikir mengenai hal ini bukanlah sesuatu yang mudah, melainkan
hanya dilakukan oleh orang-orang yang sadar bahwa segala sesuatu tidak muncul
dengan tiba-tiba. Oleh karena itu pada akhir ayat ditutup dengan ungkapan
teguran atas orang yang tidak sadar bahwa dirinya telah diberikan akal untuk
berfikir.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Al-Qur’an bukan sekedar kitab suci yang
diturankan Allah pada Muhammad untuk dibaca, melainkan al-Quran merupakan kitab
suci yang harus difahami isi dan kandungannya agar supanya bisa menjadi media
pendekatan diri pada Sang Pencipta. Berfikir mengenai alam, manusia, dan Tuhan
merupakan pembahasan yang selalu dibahas dalam ilmu filsafat, tiga pembahasan
ini juga merupakan anjuran untuk dibahas dan difahami oleh kitab suci
al-Qur’an. Untuk memahami segala yang ada dalam al-Qur’an membutuhkan pola
pikir darikal, universal, dan rasional. Tiga pola mikir ini menjadi ciri khas
dari berfikir ala filolofos. Dari sini bisa disimpulkan bahwa al-Qur’an
menganjurkan untuk berfikir ala filolos.
Ayat-ayat al-Qur’an selalu menganjurkan semua
orang untuk berfilsafat dan melarang mengikuti pendapat nenek moyang tanpa
adanya pemikiran ulang akan benar dan tidaknya. Oleh karena itu, al-Qur’an
mengibaratkan orang yang tidak menggunakan fasilitas dari Allah seperti mata, hati,
telinga, dan lain-lain dengan hewan atau bahkan lebih buruk daripada hewan.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Yusuf
Musa, Bain al-Din wa al-Falsafah fi
Ra’y Ibn Rushd wa Falasifah al-‘Ashr al-Wasit, (Kairo: Dar al-Ma’arif,
2003).
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV Diponegoro, 2008).
[1]
Muhammad Yusuf
Musa, Bain al-Din wa al-Falsafah fi
Ra’y Ibn Rushd wa Falasifah al-‘Ashr al-Wasit, (Kairo: Dar al-Ma’arif,
2003), Hal 91.
terima kasih banyak ilmunya bang, saya izin berbagi ya bang....
BalasHapus